Selesai sekolah Sabtu itu langsung
dilanjutkan rapat pengurus OSIS. Rapat itu dilakukan sebagai persiapan
sekaligus pembentukan panitia kecil pemilihan OSIS yang baru. Seperti
tahun-tahun sebelumnya, pemilihan dimaksudkan sebagai regenerasi dan
anak-anak kelas 3 sudah tidak boleh lagi dipilih jadi pengurus, kecuali
beberapa orang pengurus inti yang bakalan “naik pangkat” jadi penasihat.
Usai
rapat, aku bergegas mau langsung pulang, soalnya sorenya ada acara
rutin bulanan: pulang ke rumah ortu di kampung. Belum sempat aku keluar
dari pintu ruangan rapat, suara nyaring cewek memanggilku.
“Didik
.. “ aku menoleh, ternyata Sarah yang langsung melambai supaya aku
mendekat. “Dik, jangan pulang dulu. Ada sesuatu yang pengin aku omongin
sama kamu,” kata Sarah setelah aku mendekat.
“Tapi Rah, sore ini aku mau ke kampung. Bisa nggak dapet bis kalau kesorean,” jawabku.
“Cuman
sebentar kok Dik. Kamu tunggu dulu ya, aku mberesin ini dulu,” Sarah
agak memaksaku sambil membenahi catatan-catatan rapat. Akhirnya aku
duduk kembali.
“Dik, kamu pacaran sama Nita ya?” tanya Sarah
setelah ruangan sepi, tinggal kami berdua. Aku baru mengerti, Sarah
sengaja melama-lamakan membenahi catatan rapat supaya ada kesempatan
ngomong berdua denganku.
“Emangnya, ada apa sih?” aku balik bertanya.
“Enggak ada apa-apa sih .. “ Sarah berhenti sejenak. “Emmm, pengin nanya aja.”
“Enggak kok, aku nggak pacaran sama Nita,” jawabku datar.
“Ah, masa. Temen-temen banyak yang tahu kok, kalau kamu suka jalan bareng sama Nita, sering ke rumah Nita,” kata Sarah lagi.
“Jalan bareng kan nggak lantas berarti pacaran tho,” bantahku.
“Paling
juga pakai alasan kuno ‘Cuma temenan’,” Sarah berkata sambil mencibir,
sehingga wajahnya kelihatan lucu, yang membuatku ketawa. “Cowok di
mana-mana sama aja, banyak bo’ongnya.”
“Ya terserah kamu sih kalau kamu nganggep aku bohong. Yang jelas, sudah aku bilang bahwa aku nggak pacaran sama Nita.”
Aku
sama sekali tidak bohong pada Sarah, karena aku sama Nita memang sudah
punya komitmen untuk ‘tidak ada komitmen’. Maksudnya, hubunganku dengan
Nita hanya sekedar untuk kesenangan dan kepuasan, tanpa janji atau
ikatan di kemudian hari. Hal itu yang kujelaskan seperlunya pada Sarah,
tentunya tanpa menyinggung soal ‘seks’ yang jadi menu utama hubunganku
dengan Nita.
“Nanti malem, mau nggak kamu ke rumahku?” tanya Nita sambil melangkah keluar ruangan bersamaku.
“Kan udah kubilang tadi, aku mau pulang ke rumah ortu nanti,” jawabku.
“Ke rumah ortu apa ke rumah Nita?” tanya Sarah dengan nada menyelidik dan menggoda.
“Kamu mau percaya atau tidak sih, terserah. Emangnya kenapa sih, kok nyinggung-nyinggung Nita terus?” aku gantian bertanya.
“Enggak
kok, nggak kenapa-kenapa,” elak Sarah. Akhirnya kami jalan bersama
sambil ngobrol soal-soal ringan yang lain. Aku dan Sarahpun berpisah di
gerbang sekolah. Nita sudah ditunggu sopirnya, sedang aku langsung
menuju halte. Sebelum berpisah, aku sempat berjanji untuk main ke rumah
Nita lain waktu.
*****
Diam-diam aku merasa geli. Masak
malam minggu itu jalan-jalan sama Sarah harus ditemani kakaknya, dan
diantar sopir lagi. Jangankan untuk ML, sekedar menciumpun rasanya
hampir mustahil. Sebenarnya aku agak ogah-ogahan jalan-jalan model
begitu, tapi rasanya tidak mungkin juga untuk membatalkan begitu saja.
Rupanya aturan orang tua Sarah yang ketat itu, bakalan membuat
hubunganku dengan Sarah jadi sekedar roman-romanan saja. Praktis acara
pada saat itu hanya jalan-jalan ke Mall dan makan di ‘food court’.
Di
tengah rasa bete itu aku coba menghibur diri dengan mencuri-curi
pandang pada Mbak Indah, baik pada saat makan ataupun jalan. Mbak Indah,
adalah kakak sulung Sarah yang kuliah di salah satu perguruan tinggi
terkenal di kota ‘Y’. Dia pulang setiap 2 minggu atau sebulan sekali.
Sama sepertiku, hanya beda level. Kalau Mbak Indah kuliah di ibukota
propinsi dan mudik ke kotamadya, sedang aku sekolah di kotamadya
mudiknya ke kota kecamatan.
Wajah Mbak Indah sendiri hanya masuk
kategori lumayan. Agak jauh dibandingkan Sarah. Kuperhatikan wajah Mbak
Indah mirip ayahnya sedang Sarah mirip ibunya. Hanya Mbak Indah ini
lumayan tinggi, tidak seperti Sarah yang pendek, meski sama-sama agak
gemuk.
Kuperhatikan daya tarik seksual Mbak Indah ada pada
toketnya. Lumayan gede dan kelihatan menantang kalau dilihat dari
samping, sehingga rasa-rasanya ingin tanganku menyusup ke balik
T-Shirtnya yang longgar itu. Aku jadi ingat Nita. Ah, seandainya tidak
aku tidak ke rumah Sarah, pasti aku sudah melayang bareng Nita.
Saat Sarah ke toilet, Mbak Indah mendekatiku.
“Heh, awas kamu jangan macem-macem sama Sarah!” katanya tiba-tiba sambil memandang tajam padaku.
“Maksud Mbak, apa?” aku bertanya tidak mengerti.
“Sarah itu anak lugu, tapi kamu jangan sekali-kali manfaatin keluguan dia!” katanya lagi.
“Ini ada apa sih Mbak?” aku makin bingung.
“Alah,
pura-pura. Dari wajahmu itu kelihatan kalau kamu dari tadi bete,” aku
hanya diam sambil merasa heran karena apa yang dikatakan Mbak Indah itu
betul.
“Kamu bete, karena malem ini kamu nggak bisa ngapa-ngapain
sama Sarah, ya kan?” aku hanya tersenyum, Mbak Indah yang tadinya tutur
katanya halus dan ramah berubah seperti itu.
“Eh, malah senyam-senyum,” hardiknya sambil melotot.
“Memang nggak boleh senyum. Abisnya Mbak Indah ini lucu,” kataku.
“Lucu kepalamu,” Mbak Indah sewot.
“Ya luculah. Kukira Mbak Indah ini lembut kayak Sarah, ternyata galak juga!” Aku tersenyum menggodanya.
“Ih,
senyam-senyum mlulu. Senyummu itu senyum mesum tahu, kayak matamu itu
juga mata mesum!” Mbak Indah makin naik, wajahnya sedikit memerah.
“Mbak cakep deh kalau marah-marah,” makin Mbak Indah marah, makin menjadi pula aku menggodanya.
“Denger
ya, aku nggak lagi bercanda. Kalau kamu berani macem-macem sama adikku,
aku bisa bunuh kamu!” kali ini Mbak Indah nampak benar-benar marah.
Akhirnya
kusudahi juga menggodanya melihat Mbak Indah seperti itu, apalagi
pengunjung mall yang lain kadang-kadang menoleh pada kami. Kuceritakan
sedikit tentang hubunganku dengan Sarah selama ini, sampai pada acara
‘apel’ pada saat itu.
“Kalau soal pengin ngapa-ngapain, yah, itu
sih awalnya memang ada. Tapi, sekarang udah lenyap. Sarah sepertinya
bukan cewek yang tepat untuk diajak ngapa-ngapain, dia mah penginnya
roman-romanan aja,” kataku mengakhiri penjelasanku.
“Kamu ini ngomongnya terlalu terus-terang ya?” Nada Mbak Indah sudah mulai normal kembali.
“Ya buat apa ngomong mbulet. Bagiku sih lebih baik begitu,” kataku lagi.
“Tapi .. kenapa tadi sama aku kamu beraninya lirak-lirik aja. Nggak berani terus-terang mandang langsung?”
Aku
berpikir sejenak mencerna maksud pertanyaan Mbak Indah itu. Akhirnya
aku mengerti, rupanya Mbak Indah tahu kalau aku diam-diam sering
memperhatikan dia.
“Yah .. masak jalan sama adiknya, Mbak-nya mau diembat juga,” kataku sambil garuk-garuk kepala.
Setelah
itu Sarah muncul dan dilanjutkan acara belanja di dept. store di mall
itu. Selama menemani kakak beradik itu, aku mulai sering mendekati Mbak
Indah jika kulihat Sarah sibuk memilih-milih pakaian. Aku mulai lancar
menggoda Mbak Indah.
Hampir jam 10 malam kami baru keluar dari
mall. Lumayan pegal-pegal kaki ini menemani dua cewek jalan-jalan dan
belanja. Sebelum keluar dari mall Mbak Indah sempat memberiku sobekan
kertas, tentu saja tanpa sepengetahuan Sarah.
“Baca di rumah,” bisiknya.
***
Aku
lega melihat Mbak Indah datang ke counter bus PATAS AC seperti yang
diberitahukannya lewat sobekan kertas. Kulirik arloji menunjukkan jam
setengah 9, berarti Mbak Indah terlambat setengah jam.
“Sori
terlambat. Mesti ngrayu Papa-Mama dulu, sebelum dikasih balik
pagi-pagi,” Mbak Indah langsung ngerocos sambil meletakkan hand-bag-nya
di kursi di sampingku yang kebetulan kosong. Sementara aku tak berkedip
memandanginya. Mbak Indah nampak sangat feminin dalam kulot hitam,
blouse warna krem, dan kaos yang juga berwarna hitam. Tahu aku pandangi,
Mbak Indah memencet hidungku sambil ngomel-ngomel kecil, dan kami pun
tertawa. Hanya sekitar sepuluh menit kami menunggu, sebelum bus
berangkat.
Dalam perjalanan di bus, aku tak tahan melihat Mbak
Indah yang merem sambil bersandar. Tanganku pun mulai mengelu-elus
tangannya. Mbak Indah membuka mata, kemudian bangun dari sandarannya dan
mendekatkan kepalanya padaku.
“Gimana, Mbaknya mau di-embat juga?” ledeknya sambil berbisik.
“Kan
lain jurusan,” aku membela diri. “Adik-nya jurusan roman-romanan,
Mbak-nya jurusan … “ Aku tidak melanjutkan kata-kataku, tangan Mbak
Indah sudah lebih dulu memencet hidungku. Selebihnya kami lebih banyak
diam sambil tiduran selama perjalanan.
***
Yang disebut
kamar kos oleh Mbak Indah ternyata sebuah faviliun. Faviliun yang
ditinggali Mbak Indah kecil tapi nampak lux, didukung lingkungannya yang
juga perumahan mewah.
“Kok bengong, ayo masuk,” Mbak Indah
mencubit lenganku. “Peraturan di sini cuman satu, dilarang mengganggu
tetangga. Jadi, cuek adalah cara paling baik.”
Aku langsung
merebahkan tubuhku di karpet ruang depan, sementara setelah meletakkan
hand-bag-nya di dekat kakiku, Mbak Indah langsung menuju kulkas yang
sepertinya terus on.
“Nih, minum dulu, habis itu mandi,” kata Mbak Indah sambil menuangkan air dingin ke dalam gelas.
“Kan tadi udah mandi Mbak,” kataku.
“Ih,
jorok. Males aku deket-deket orang jorok,” Mbak Indah tampak cemberut.
“Kalau gitu, aku duluan mandi,” katanya sambil menyambar hand-bag dan
menuju kamar. Aku lihat Mbak Indah tidak masuk kamar, tapi hanya membuka
pintu dan memasukkan hand-bag-nya. Setelah itu dia berjalan ke belakang
ke arah kamar mandi.
“Mbak,” Mbak Indah berhenti dan menoleh mendengar panggilanku. “Aku mau mandi, tapi bareng ya?”
“Ih,
maunya .. “ Mbak Indah menjawab sambil tersenyum. Melihat itu aku
langsung bangkit dan berlari ke arah Mbak Indah. Langsung kupeluk dia
dari belakang tepat di depan pintu kamar mandi. Kusibakkan rambutnya,
kuciumi leher belakangnya, sambil tangan kiriku mengusap-usap pinggulnya
yang masih terbungkus kulot. Terdengar desahan Mbak Indah, sebelum dia
memutar badan menghadapku. Kedua tangannya dilingkarkan ke leherku.
“Katanya
mau mandi?” setelah berkata itu, lagi-lagi hidungku jadi sasaran,
dipencet dan ditariknya sehingga terasa agak panas. Setelah itu
diangkatnya kaosku, dilepaskannya sehingga aku bertelanjang dada.
Kemudian tangannya langsung membuka kancing dan retsluiting jeans-ku.
Lumayan cekatan Mbak Indah melakukannya, sepertinya sudah terbiasa.
Seterusnya aku sendiri yang melakukannya sampai aku sempurna telanjang
bulat di depan Mbak Indah.
“Ih, nakal,” kata Mbak Indah sambil menyentil rudalku yang terayun-ayun akibat baru tegang separo.
“Sakit Mbak,” aku meringis.
“Biarin,”
kata Mbak Indah yang diteruskan dengan melepas blouse-nya kemudian kaos
hitamnya, sehingga bagian atasnya tinggal BH warna hitam yang masih
dipakainya. Aku tak berkedip memandangi sepasang toket Mbak Indah yang
masih tertutup BH, dan Mbak Indah tidak melanjutkan melepas pakainnya
semua sambil tersenyum menggoda padaku.
Birahi benar-benar sudah
tak bisa kutahan. Langsung kuraih dan naikkan BH-nya, sehingga sepasang
toket-nya yang besar itu terlepas.
“Ih, pelan-pelan. Kalau BH-ku
rusak, emangnya kamu mau ganti,” lagi-lagi hidungku jadi sasaran. Tapi
aku sudah tidak peduli. Sambil memeluknya mulutku langsung mengulum
tokenya yang sebelah kanan.
Mbak Indah tidak berhenti mendesah
sambil tangannya mengusap-usap rambutku. Aku makin bersemangat saja,
mulutku makin rajin menggarap toketnya sebelah kanan dan kiri
bergantian. Kukulum, kumainkan dengan lidah dan kadang kugigit kecil.
Akibat seranganku yang makin intens itu Mbak Indah mulai menjerit-jerit
kecil di sela-sela desahannya.
Beberapa menit kulakukan aksi yang
sangat dinikmati Mbak Indah itu, sebelum akhirnya dia mendorong
kepalaku agar terlepas dari toketnya. Mbak Indah kemudian melepas BH,
kulot dan CD-nya yang juga berwarna hitam. Sementara bibirnya nampak
setengah terbuka sambil mendesi lirih dan matanya sudah mulai sayu,
pertanda sudah horny berat.
Belum sempat mataku menikmati
tubuhnya yang sudah telanjang bulat, tangan kananya sudah menggenggam
rudalku. Kemudian Mbak Indah berjalan mundur masuk kamar mandi sementara
rudalku ditariknya. Aku meringis menahan rasa sakit, sekaligus pengin
tertawa melihat kelakuan Mbak Indah itu.
Mbak Indah langsung
menutup pintu kamar mandi setelah kami sampai di dalam, yang diteruskan
dengan menghidupkan shower. Diteruskannya dengan menarik dan memelukku
tepat di bawah siraman air dari shower. Dan …
“mmmmhhhh …. “
bibirnya sudah menyerbu bibirku dan melumatnya. Kuimbangi dengan aksi
serupa. Seterusnya, siraman air shower mengguyur kepala, bibir bertemu
bibir, lidah saling mengait, tubuh bagian depan menempel ketat dan
sesekali saling menggesek, kedua tangan mengusap-usap bagian belakang
tubuh pasangan, “Aaaaaahhh,” nikmat luar biasa.
Tak ingat berapa
lama kami melakukan aksi seperti itu, kami melanjutkannya dalam posisi
duduk, tak ingat persis siapa yang mulai. Aku duduk bersandar pada
dinding kamar mandi, kali ku luruskan, sementar Mbak Indah duduk di atas
pahaku, lututnya menyentuh lantai kamar mandi. Kemudian kurasakan Mbak
Indah melepaskan bibirnya dari bibirku, pelahan menyusur ke bawah.
Berhenti di leherku, lidahnya beraksi menjilati leherku,
berpindah-pindah. Setelah itu, dilanjutkan ke bawah lagi, berhenti di
dadaku. Sebelah kanan-kiri, tengah jadi sasaran lidah dan bibirnya.
Kemudian turun lagi ke bawah, ke perut, berhenti di pusar. Tangannya
menggenggam rudalku, didorong sedikit ke samping dengan lembut,
sementara lidahnya terus mempermainkan pusarku. Puas di situ, turun
lagi, dan bijiku sekarang yang jadi sasaran. Sementara lidahnya beraksi
di sana, tangan kanannya mengusap-usap kepala rudalku dengan lembut. Aku
sampai berkelojotan sambil mengerang-erang menikmati aksi Mbak Indah
yang seperti itu.
Pelahan-lahan bibirnya merayap naik menyusuri
batang rudalku, dan berhenti di bagian kepala, sementara tangannya ganti
menggenggam bagian batang. Kepala rudalku dikulumnya, dijilati,
berpindah dan berputar-putar, sehingga tak satu bagianpun yang terlewat.
Beberapa saat kemudian, kutekan kepala Mbak Indah ke bawah, sehingga
bagian batanku pun masuk 2/3 ke mulutnya. Digerakkannya kepalanya naik
turun pelahan-lahan, berkali-kali. Kadang-kadang aksinya berhenti
sejenak di bagian kepala, dijilati lagi, kemudian diteruskan naik turun
lagi. Pertahananku nyaris jebol, tapi aku belum mau terjadi saat itu.
Kutahan kepalanya, kuangkat pelan, tapi Mbak Indah seperti melawan. Hal
itu terjadi beberapa kali, sampai akhirnya aku berhasil mengangkat
kepalanya dan melepas rudalku dari mulutnya.
Kuangkat kepala Mbak
Indah, sementara matanya terpejam. Kudekatkan, dan kukulum lembut
bibirnya. Pelan-pelan kurebahkan Mbak Indah yang masih memejamkan mata
sambil mendesis itu ke lantai kamar mandi. Kutindih sambil mulutku
melahap kedua toketnya, sementara tanganku meremasnya bergantian.
Erangannya,
desahannya, jeritan-jeritan kecilnya bersahut-sahutan di tengah
gemericik siraman air shower. Kuturunkan lagi mulutku, berhenti di
gundukan yang ditumbuhi bulu lebat, namun tercukur dan tertata rapi.
Beberapa kali kugigit pelan bulu-bulu itu, sehingga pemiliknya
menggelinjang ke kanan kiri. Kemudian kupisahkan kedua pahanya yang
putih,besar dan empuk itu. Kubuka lebar-lebar. Kudaratkan bibirku di
bibir memeknya, kukecup pelan. Kujulurkan lidahku, kutusuk-tusukan pelan
ke daging menonjol di antar belahan memek Mbak Indah. Pantat Mbak Indah
mulai bergoyang-goyang pelahan, sementara tangannya menjambak atau
lebih tepatnya meremas rambutku, karena jambakannya lembut dan tidak
menyakitkan. Kumasukkan jari tengahku ku lubang memeknya, ku keluar
masukkan dengan pelan. Desisan Mbak Indah makin panjang, dan sempat ku
lirik matanya masih terpejam. Kupercepat gerakan jariku di dalam lubang
memeknya, tapi tangannya langsung meraih tanganku yang sedang beraksi
itu dan menahannya. Kupelankan lagi, dan Mbak melepas tangannya dari
tanganku. Setiap kupercepat lagi, tangan Mbak Indah meraih tanganku
lagi, sehingga akhirnya aku mengerti dia hanya mau jariku bergerak
pelahan di dalam memeknya.
Beberapa menit kemudian, kurasakan
Mbak Indah mengangkat kepalaku menjauhkan dari memeknya. Mbak Indah
membuka mata dan memberi isyarat padaku agar duduk bersandar di dinding
kamar mandi. Seterusnya merayap ke atasku, mengangkang tepat di depanku.
Tangannya meraih rudalku, diarahkan dan dimasukkan ke dalam lubang
memeknya.
“Oooooooooooohh ,” Mbak Indah melenguh panjang dan
matanya kembali terpejam saat rudalku masuk seluruhnya ke dalam
memeknya. Mbak Indah mulai bergerak naik-turun pelahan sambil sesekali
pinggulnya membuat gerakan memutar. Aku tidak sabar menghadapi aksi Mbak
Indah yang menurutku terlalu pelahan itu, mulai kusodok-sodokkan
rudalku dari bawah dengan cukup cepat. Mbak Indah menghentikan
gerakannya, tangannya menekan dadaku cukup kuat sambil kepala
menggeleng, seperti melarangku melakukan aksi sodok itu. Hal itu terjadi
beberapa kali, yang sebenarnya membuatku agak kecewa, sampai akhirnya
Mbak Indah membuka matanya, tangannya mengusap kedua mataku seperti
menyuruhkan memejamkan mata. Aku menurut dan memejamkan mataku.
Setelah
beberapa saat aku memejamkan mata, aku mulai bisa memperhatikan dengan
telingaku apa yang dari tadi tidak kuperhatikan, aku mulai bisa
merasakan apa yang dari tadi tidak kurasakan. Desahan dan erangan Mbak
Indah ternyata sangat teratur dan serasi dengan gerakan
pantatnya,sehingga suara dari mulutnya, suara alat kelamin kami yang
menyatu dan suara siraman air shower seperti sebuah harmoni yang begitu
indah. Dalam keterpejaman mata itu, aku seperti melayang-layang dan
sekelilingku terasa begitu indah, seperti nama wanita yang sedang
menyatu denganku. Kenikmatan yang kurasakan pun terasa lain, bukan
kenikmatan luar biasa yang menhentak-hentak, tapi kenikmatan yang
sedikit-sedikit, seperti mengalir pelahan di seluruh syarafku, dan
mengendap sampai ke ulu hatiku.
Beberapa menit kemudian gerakan
Mbak Indah berhenti pas saat rudalku amblas seluruhnya. Ada sekitar 5
detik dia diam saja dalam posisi seperti itu. Kemudian kedua tangannya
meraih kedua tanganku sambil melontarkan kepalanya ke belakang. Kubuka
mataku, kupegang kuat-kuat kedua telapak tangannya dan kutahan agar Mbak
Indah tidak jatuh ke belakang. Setelah itu pantatnya membuat gerakan ke
kanan-kiri dan terasa menekan-nekan rudal dan pantatku.
“Aaa ..
aaaaaa … aaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhhhhh,” desahan dan jeritan kecil Mbak
Indah itu disertai kepala dan tubuhnya yang bergerak ke depan. Mbak
Indah menjatuhkan diri padaku seperti menubruk, tangannya memeluk
tubukku, sedang kepalanya bersandar di bahu kiriku. Ku balas memeluknya
dan kubelai-belai Mbak Indah yang baru saja menikmati orgasmenya. Sebuah
cara orgasme yang eksotik dan artistik.
Setelah puas meresapi
kenikmatan yang baru diraihnya, Mbak Indah mengangkat kepala dan membuka
matanya. Dia tersenyum yang diteruskan mencium bibirku dengan lembut.
Belum sempat aku membalas ciumannya, Mbak Indah sudah bangkit dan
bergeser ke samping. Segera kubimbing dia agar rebahan dan telentang di
lantai kamar mandi. Mbak Indah mengikuti kemauanku sambil terus
menatapku dengan senyum yang tidak pernah lepas dari bibirnya. Kemudian
kuarahkan rudalku yang rasanya seperti empot-empotkan ke lubang
memeknya, kumasukkan seluruhnya. Setelah amblas semuanya Mbak Indah
memelekku sambil berbisik pelan.
“Jangan di dalam ya sayang, aku
belum minum obat,” aku mengangguk pelan mengerti maksudnya. Setelah itu
mulai kugoyang-goyang pantatku pelan-pelan sambil kupejamkan mata. Aku
ingin merasakan kembali kenikmatan yang sedikit-sedikit tapi meresap
sampai ke ulu hati seperti sebelumnya. Tapi aku gagal, meski beberapa
lama mencoba. Akhirnya aku membuat gerakan seperti biasa, seperti yang
biasa kulakukan pada tante Ani atau Nita. Bergerak maju mundur dari
pelan dan makin lama makin cepat.
“Aaaah… Hoooohh,” aku hampir
pada puncak, dan Mbak Indah cukup cekatan. Didorongnya tubuhku sehingga
rudalku terlepas dari memeknya. Rupanya dia tahu tidak mampu mengontrol
diriku dan lupa pada pesannya. Seterusnya tangannya meraih rudalku
sambil setengah bangun. Dikocok-kocoknya dengan gengaman yang cukup
kuat, seterusnya aku bergeser ke depan sehingga rudalku tepat berada di
atas perut Mbak Indah.
“Aaaaaaaah … aaaaaaahhh … crottt… crotttt
..,” beberapa kali spermaku muncrat membasahi dada dan perut Mbak Indah.
Aku merebahku tubuhku yang terasa lemas di samping Mbak Indah, sambil
memandanginya yang asyik mengusap meratakan spermaku di tubuhnya.
“Hampir lupa ya?” lagi-lagi hidungku jadi sasarannya waktu Mbak Indah mengucapkan kata-kata itu.
***
Selama
di bus dalam perjalanan pulang aku memejamkan mata sambil
mengingat-ingat pengalaman yang baru saja ku dapat dari Mbak Indah. Saat
di kamar mandi, dan saat mengulangi sekali lagi di kamarnya. Seorang
wanita dengan gaya bersetubuh yang begitu lembut dan penuh perasaan.
“Kalau
sekedar mengejar kepuasan nafsu, itu gampang. Tapi aku mau lebih. Aku
mau kepuasan nafsuku selaras dengan kepuasan yang terasa di jiwaku.”
Kepuasan
yang terasa di jiwa, itulah hal yang kudapat dari Mbak Indah dan hanya
dari Mbak Indah, karena kelak setelah gonta-ganti pasangan, tetap saja
belum pernah kudapatkan kenikmatan seperti yang kudapatkan dari Mbak
Indah. Kepuasan dan kenikmatan yang masih terasa dalam jangka waktu yang
cukup lama meskipun persetubuhan berakhir.
“Ingat ya, jangan
pernah sekali-kali kamu lakukan sama Sarah. Kalau sampai kamu lakukan,
aku tidak akan pernah memaafkan kamu!” Aku terbangun, rupanya dalam
tidurku aku bermimpi Mbak Indah memperingatkanku tentang Sarah, adiknya.
Dan bus pun sudah mulai masuk terminal.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment