Mini jeep yang saya kemudikan meluncur mulus ke pelataran parkir hotel
P, sebuah hotel berbintang 5 yang terletak di jalan Asia Afrika.
Sebagai anak kost yang sehari-hari harus prihatin, sebenarnya apa urusannya saya harus datang ke hotel semewah ini ?
Sebelumnya
ijinkanlah saya untuk memperkenalkan diri terlebih dahulu. Nama saya
Ryo, 23 m Bdg (come on chatters, you should know this code). Saya kuliah
di sebuah fakultas teknik yang sering disebut sebagai fakultas
ekonominya teknik, karena banyaknya mata kuliah ekonomi yang bertebaran
dalam kurikulumnya, di sebuah perguruan tinggi yang cukup ternama di
kota ini. Tapi syukurlah beberapa waktu yang lalu saya telah lulus dan
diwisuda menjadi seorang Insinyur, but for now, I'm only an
unemployment.
That's why I come to this hotel. Kemarin seseorang
yang mengaku bernama Ibu Ratna menelepon dan mengundangku hari ini untuk
mengikuti sebuah psikotest dari sebuah perusahaan tembakau
multinasional yang cukup ternama di Indonesia (dan beberapa waktu yang
lalu terkena somasi masyarakat akibat acara promosi sebuah produknya
yang agak "kelewat batas"). Setelah memarkirkan mobil di underground,
saya melangkah menuju lobby hotel. Selintas saya melihat pengunjung
hotel yang sedang menikmati breakfast (atau lebih tepatnya brunch kali
yah ?) di coffee shop dan berkeliaran di sekitar lobby. Yah...dibanding
mereka yang berpenampilan santai sih, saya lumayan rapi. Ah cuek aja
lah, yang penting pede.
"Maaf Mbak, kalo ruang rekruitmen dimana
yah ?", tanya saya kepada seorang resepsionis yang bertugas di front
office sambil menyebutkan nama perusahaan tersebut..
"Oh.., naik aja lewat tangga itu dan belok ke kanan.", jelasnya sambil menunjukkan tangga yang dimaksud.
Setelah
mengucapkan terima kasih, saya pun bergegas menuju ruang recruitment.
Hmm... masih sepi nih, maklum jadwalnya jam 10 pagi sedangkan ketika
saya melirik jam tangan saya baru menunjukkan pukul 09.22 WIB. Setelah
mengisi daftar hadir dan mengambil formulir data diri, saya
menghempaskan diri di sebuah sofa empuk di pelataran ruangan tersebut.
Waktu
menunjukkan pukul 09.50 WIB ketika seorang wanita mempersilakan para
peserta untuk masuk ke ruang tes. Setelah mengambil posisi, saya melihat
peserta lainnya. Hmm.. ada beberapa wajah yang saya kenal karena memang
teman sekuliah, but now they are my competitor. Di depan ruangan telah
berdiri 2 orang wanita yang kemudian memperkenalkan diri sebagai mbak
Rini dan mbak Tia. Saya menyebut mbak karena saya kira mereka tidak
terlalu jauh tua dibanding saya, walaupun mereka memperkenalkan diri
dengan sebutan "Ibu". Keduanya cantik, walaupun dalam perspektif yang
berbeda. Mbak Rini berwajah tegas cenderung judes, sangat pede dan
terkesan senang mendikte orang lain, sedangkan mbak Tia terkesan lembut,
berhati-hati dan komunikatif. Kalau saya menilainya sebagai wanita yang
seharusnya dipacari (mbak Rini) dan wanita yang seharusnya dinikahi
(mbak Tia). Hahaha...mungkin agak aneh penilaian saya ini. Setelah acara
basa-basi formal, tepat jam 10 tes dimulai.
1 jam 45 menit yang
dibutuhkan mbak Tia untuk memandu dan mengawasi jalannya psikotest ini,
sedangkan mbak Rini entah menghilang kemana. Tepat jam 11.45 WIB kita
"diusir" ke luar ruangan menikmati coffee break untuk 30 menit kemudian
diumumkan orang-orang yang lulus psikotest dan menghadapi interview.
Dari 200-an pelamar, hanya 40 yang dipanggil psikotest dan hanya 20 yang
dipanggil interview, untuk selanjutnya terserah berapa orang yang akan
diterima.
Ternyata nama saya tercantum dalam daftar peserta yang
lulus psikotest, so I have to stay longer to join an interview.
Interview will be done in english, so I have to prepare myself. But it's
only my first experience, so what the hell...!! Saya berusaha cuek dan
rileks aja menghadapinya, sa'bodo teuing lah kata orang sini.
Sekitar
jam 14.45 WIB nama saya disebutkan untuk memasuki ruangan interview.
Hhmm...ternyata yang nginterview (eh ini bahasa mana yah ?) saya adalah
mbak Tia. Setelah memperkenalkan diri, kita terlibat dalam obrolan yang
serius namun akrab. Berkali-kali dia membujuk saya untuk mau bergabung
pada perusahaan ini pada divisi produksi di pabrik. Saya sih sebenarnya
lebih senang bekerja pada shop floor di pabrik daripada harus bekerja di
kantor manajemen di belakang meja dan di depan komputer. Tapi
permasalahannya adalah bahwa pabrik yang bersangkutan terletak di sebuah
kota di pesisir utara pulau Jawa, sebuah kota yang menjadi pintu
gerbang Jawa Barat terhadap tetangganya di sebelah timur. Away from home
means extra cost for living, am I right ?Nggak terasa kita ngobrol
semakin akrab. Mbak Tia ternyata benar-benar smart, komunikatif dan
mampu membawa suasana bersahabat dalam sebuah perbincangan. Nggak heran
ternyata dia adalah alumni fakultas psikologi tahun 1992 pada sebuah
perguruan tinggi di selatan Jakarta yang terkenal dengan jaket
kuningnya.
"That's all Ryo, thank you for joining this
recruitment. We will contact you in two weeks from now by mail or
phone", kata mbak Tia mengakhiri pembicaraan. "The pleasure is mine.",
jawab saya pendek sambil berbalik menuju pintu.
"Ryo, why do you look so confident today ? The others don't look like you.", tiba-tiba mbak Tia berbicara lagi kepada saya.
"I
just try to be myself, no need to pretend being someone else.", jawab
saya sambil bingung, sebenarnya apa yang telah saya lakukan sih
sampai dia menilai saya seperti itu ?
"Cool, I like your style", sambung mbak Tia lagi
"I
like your style too.", jawab saya (pura-pura) cuek, "Tia, I like to
talk with you, maybe some other day we can talk more. May I have your
number ?", sambung saya lagi. Asli udah cuek banget, nggak ada
malu-malunya lagi. Baru beberapa saat ngobrol bareng dia, tapi kenapa
rasanya saya udah kenal lama yah ?
Mbak Tia cuman tersenyum dan
memberikan kartu namanya sambil meminta nomor telepon saya juga. Karena
saya masih pengangguran dan nggak punya kartu nama, akhirnya dia hanya
dapat mencatatnya di kertas note miliknya saja. Dan saya akhirnya
langsung pulang.
Bandung, same day at 18.04 WIB
Saya lagi
termenung di kamar kost di depan komputer menyesali kekalahan
kesebelasan saya dalam game Championship Manager 4. Sialan..., menyerang
habis-habisan kok malah kalah yah, pikir saya sambil menatap statistik
permainan. Tiba-tiba... .krrriiinngg. ., teleponku berbunyi
mengagetkanku karena memang dipasang pada volume penuh. Di LCD
terpampang nomor telepon asing (maksudnya belum ada di memori). Langsung
saya jawab, "Hallo...".
"Hallo...ini Ryo ?", terdengar sebuah suara wanita di seberang telepon.
"Iya,
ini Ryo", jawab saya. Sejenak saya terganggu koneksi telepon yang
kresek-kresek, payah juga nih jaringan 0816 prabayar wilayah
sini.
Ternyata
itu telepon dari mbak Tia. Dia sih ngakunya cuman iseng aja nge-check
nomor saya. Setelah ngobrol sebentar, saya nanya, "Mbak, banyak kerjaan
nggak ?".
"Kenapa nanya, mau ngajak jalan-jalan yah ?", jawab mbak Tia disusul suara tertawanya yang ramah.
"Boleh.., siapa takutt..?", balas saya sambil senyum iseng (untung dia nggak bisa lihat senyum saya).
"Nggak
kok udah selesai semua, free as a bird.", katanya lagi sambil mengutip
sebuah judul lagu The Beatles (atau John Lennon ? ah sa'bodo teuing
lah).
Akhirnya kita sepakat untuk jalan-jalan (but no business
talks allowed, kata mbak Tia). Waktu menunjukkan pukul 19.15 WIB ketika
saya
memarkirkan pantat saya di sofa di lobby hotel yang sama.
Ah...masak dalam sehari ke hotel ini sampai 2 kali, pikirku. Baru
beberapa saat
saya duduk, terlihat sosok mbak Tia berjalan ke arah
resepsionis untuk menitipkan kuncinya dan melihat sekeliling lobby untuk
mencariku. Saya cukup melambaikan tangan untuk memberitahukan posisi
saya duduk untuk kemudian bangkit berdiri dan berlahan menghampirinya.
Kemeja putih berbunga-bunga kecil berwarna ungu terlihat serasi dengan
pilihan celana panjangnya yang juga berwarna ungu. Wah...aliran
"matching"-isme nih, pikirku. "Hi mbak, look so nice", kata saya sambil
sedikit memuji penampilannya yang memang "out of mind" itu.
"Thanks,
you too", jawabnya lagi sambil tersenyum. Tapi kali ini kesan senyumnya
jauh dari resmi, seperti senyum kepada seorang teman lama.
Kita
langsung berangkat. Karena mbak Tia meminta untuk tidak "makan berat",
akhirnya saya membawanya ke LV kafe, sebuah resto dengan city view yang
bagus banget di bilangan dago pakar. Kalo udah malem, kelihatan indahnya
warna-warni lampu kota Bandung dari situ. Many times I've been there,
but still never get bored.
Temaramnya cahaya lampu resto, jilatan
lidah api dari lilin di meja dan kerlap-kerlipnya lampu kota Bandung di
bawah sana tidak mampu
menutupi kecantikan yang terpancar dari
seorang Tia, wanita yang baru saya kenal dalam beberapa jam saja. Kalo
dilihat dari face-nya sih
nggak cantik-cantik banget, tapi gayanya
yang ramah, wawasannya yang luas dan obrolannya yang menguasai banyak
hal, membuat penampilannya begitu chic dan smart. Daripada dengan cewek
cakep dan seksi serta mampu mengeksploitasi penampilannya semaksimal
mungkin, tapi kalo diajak ngomong nggak pernah nyambung dan otaknya
isinya cuman kosmetik sama sale baju atau factory outlet doank sih jauh
banget bagusan Tia kemana-mana. Pokoknya smart-lah, saya jadi teringat
Ira Koesno, seorang presenter TV favorit saya, yang walaupun tidak
terlalu cantik tapi mampu memikat karena gayanya yang smart itu.
Mbak
Tia (dan pada kesempatan ini dia minta saya cukup memanggilnya dengan
hanya menyebut namanya saja, tanpa embel-embel mbak di depannya) memesan
lasagna, biar nggak terlalu kenyang katanya.
Ternyata city view
Bandung masih kalah dengan view yang ada di depan saya sekarang. Asik
banget melihat Tia menikmati sedikit demi sedikit makanannya. Ada suatu
momen yang bagus banget saat tiba-tiba dia mendongak, mengibaskan rambut
sebahunya dan menatap saya sambil berkata, " Lho kok malah nggak makan
?".
Hhhmmm.....asli sumpah bagus banget angle-nya. Saya pernah ikut
kegiatan fotografi saat di bangku sekolah dulu, so mungkin inilah yang
disebut
dengan angle terbaik. Ada beberapa saat (mungkin sepersekian detik)
dimana seseorang dapat terlihat sangat tampan atau sangat cantik dan
saya baru menikmatinya beberapa detik yang lalu. "Heh..kok malah bengong
?", Tia membuyarkan lamunan saya seketika.
"Ah nggak kok, cuman lagi
inget-inget aja tadi taruh kunci kost dimana ?", jawab saya sambil
mencoba berbohong. Kalo dia sampai tahu saya mengagumi pemandangan
tentang dia, wah bisa jadi nggak enak suasananya.
"Ooohhh...." ,
sahutnya pendek, entah tahu saya berbohong atau tidak. Terus terang saya
selalu rada takut menghadapi alumni-alumni fakultas psikologi,
takut-takut pikiran saya bisa dibaca mereka, hahahaha.... .
Lalu
kita terlibat perbincangan yang hangat sambil menikmati makanan. Ada
beberapa sisi baru yang saya kenal dari seorang Tia malam itu. Desember
nanti usianya 26, termasuk muda untuk seorang angkatan 1992. Anak kedua
dari 3 bersaudara, kakak perempuannya sudah menikah dan tinggal di
Jakarta, sedangkan adik laki-lakinya sedang kuliah di sebuah PTS yang
ternama di bilangan Grogol, Jakarta dan terkenal saat-saat perjuangan
reformasi mahasiswa medio 1998 lalu. Dia pernah hampir saja menikah pada
awal tahun ini, namun sesuatu terjadi (Tia mengistilahkan dengan
something happened in the way to heaven, mirip sama judul lagunya Led
Zeppelin 20-an tahun yang lalu), kekasihnya ternyata menikahi wanita
lain yang terlanjur dihamilinya. Tia menyebutkan itulah resikonya
pacaran jarak jauh, ternyata seseorang mampu menggantikan tempatnya di
hati kekasihnya yang bekerja di kota tersebut. Ah...manusia, cerita
tentang kehidupan mereka memang sangat beragam.
"That's why Ryo,
'till now I still can't trust men", Tia berkata dengan tatapan kosong ke
arah kerlap- kerlip lampu kota Bandung. Dia bilang pria itu seperti
kucing, udah disayang-sayang tetap aja nyolong, hahahaha.... lucu juga
istilahnya. Saya cuman bisa membela kaum saya sebisanya. Biar bagaimana
pun kayaknya nggak semua cowok itu kayak kucing deh, beberapa
diantaranya malah lebih mirip serigala,
hahahahaha.. ...
Makin
lama kita ngobrol, makin banyak sisi-sisi lain yang saya kenal dari
seorang Tia. Bahkan sampai sekarang dia masih belum mengerti apa
sebenarnya yang ada di otak kekasihnya dahulu saat meninggalkannya,
padahal we had a perfect life, katanya. Saya kira anak psikologi tahu
semua jawaban tentang problem pikiran dan perasaan manusia, ternyata
nggak juga tuh. Dia bilang sih nggak semua dokter bisa nyembuhin
sakitnya sendiri dan nggak semua pilot bisa terbang. Untuk yang terakhir
ini dia bisa bikin saya ngakak banget.
"So Ryo, why are you
still alone 'till now ?", tiba-tiba Tia mengubah topik pembicaraan. Lho
kok... malah ngomongin saya sekarang ?
"Ah nggak ada yang mau sama saya, hehehe...", jawab saya sekenanya sambil becanda.
"Boong banget, mau tinggi-in mutu yah ?", todong Tia.
"Hahaha ketahuan deh saya", jawab saya lagi sambil cengar-cengir.
"Boleh Tia ngomong tentang penilaian Tia ke kamu ?", katanya tiba-tiba.
"Sok, silakan, mangga....".
Dan
mulailah Tia mengutarakan penilaiannya tentang saya. Yang bikin saya
kaget ternyata dia bisa tahu pikiran-pikiran saya yang cuman ada di
hati, bahkan tidak ada di otak sekalipun. Dia bilang kalo dibalik
penampilan saya yang selalu tertawa dan becanda melulu, pernah ada
sesuatu yang sangat melukai saya di masa lalu, dan itu sangat mungkin
berkaitan dengan wanita, mengingat hingga sekarang saya masih sendiri.
Ah....saya jadi teringat masa lalu saya yang berhasil ditebak dengan
jitu oleh Tia (katanya semudah membaca buku yang terbuka, sialan.....!
!!). Dimana sekarang beradanya si "love of my life" itu, beberapa wanita
memang sempat menggantikannya, tapi tidak ada yang benar-benar dapat
"menggantikannya" , hehehe....kok jadi sentimentil gini, ini kan CCS.
Hahahaha....
Untuk beberapa saat saya terdiam, nggak tahu
sebenarnya apa yang saya pikirkan. Apakah pikiran saya lagi ada di masa
lalu atau tengah mengagumi sesosok wanita yang duduk tepat dihadapanku.
Akhirnya saya hanya melemparkan pandangan menatap gemerlapnya kota
Bandung di bawah sana.
.....and baby I..., I've tried to forget you
but the light on your eyes still....
shine...., you shine like an angel
spirit that won't let me go....
Lagu
Angel yang dinyanyikan Jon Secada makin menghanyutkan saya dalam
lamunan. Sampai akhirnya..., "Bagus yah Ryo, pemandangannya. ..", tegur
Tia membuyarkan pikiran kosongku.
"Yup, saya selalu suka city wiew seperti ini", jawab saya sekenanya, biar nggak dikira ngelamun.
Malam
semakin larut ketika kita memutuskan untuk kembali ke hotel. Kita makin
dekat satu sama lain, saling curhat selama perjalanan di
mobil.
Becanda, ketawa-an bareng. Why do I feel that everything seems so right
when we're together? Ah mungkin saya aja yang terlalu terbawa suasana.
Waktu
menunjukkan sekitar pukul 11 malam ketika kita kembali menginjakkan
kaki di lobby hotel. "Ryo, mau nemenin ngobrol sebentar
nggak ?", tanya Tia tiba-tiba.
"Boleh aja, emang belum ngantuk?", tanyaku balik.
"Nggak, lagipula kalau di tempat yang asing Tia jadi susah tidur.", katanya memberi reasoning.
Akhirnya
saya ikut melangkahkan kaki ke kamar Tia yang terletak di lantai 4.
Sebuah kamar standar dengan 2 single bed, TV, kulkas dan
peralatan standar layaknya sebuah kamar hotel berbintang. Good enough, daripada kamar kostku, hehehehe....
"Lha kamu sendiri di sini ?", tanya saya begitu melihat tidak seorang pun di kamarnya.
"Sebenernya
kamar ini untuk berdua, dengan Rini, itu lho yang tadi pagi ikut tes
juga", jelasnya, "Tapi dia langsung pulang Jakarta pake
kereta terakhir tadi sore, katanya besok mau ada acara apa gitu di keluarganya" .
Kita
memasak air dengan menggunakan ketel elektrik yang disediakan hotel
untuk kemudian masing-masing menikmati secangkir coffemix panas. Kursi
sengaja kita balikkan menghadap ke jendela, untuk memandang Jalan
Tamblong yang telah temaram dan senyap. Sesekali terlihat mobil melintas
dengan kecepatan di atas rata-rata, mungkin karena sudah malam.
Begitupun suasana di kamar ini, hanya suara MTV Asia dari TV yang
dihidupkan yang menemani perbincangan kita, menggantikan cahaya lampu
yang memang kami padamkan. Entah mengapa, saya merasa begitu dekat
dengan Tia, padahal baru beberapa jam kita berkenalan. Ah sekali lagi,
mungkin saya terlalu terbawa suasana....
Namun kali ini ternyata
Tia yang duduk di sebelah saya bukanlah seperti Tia yang saya kenal
dalam jam-jam terdahulu. Dalam curhatnya,
ia terlihat sangat rapuh.
Entah memang nasib saya untuk selalu menjadi tempat curhat orang lain.
Dari dulu semasa di bangku sekolah hingga kini setelah menamatkan
pendidikan tinggi, saya selalu dijadikan tempat curhat orang-orang dalam
lingkaran terdekat saya. Dan kini saya harus menghadapi Tia yang
sesekali sesunggukkan, meremas-remas sapu tangannya dan menghapus air
matanya yang mulai jatuh satu persatu. Love..., look what you have done
to her, bastard...!!
Saya bangkit dari duduk dan berjalan
perlahan menghampirinya. Saya hanya bisa termangu berdiri di sampingnya
dan melihat ke luar untuk menunggunya menyelesaikan kisah-kisah yang
menyesakkannya selama berbulan-bulan. Saya mencoba menenangkannya sebisa
saya dengan menganalisis kehidupannya dari berbagai perspektif. Saya
hanya bisa mengatakan bahwa ia masih beruntung karena ditunjukkan
ketidaksetiaan kekasihnya pada saat mereka belum menikah, karena akan
lebih sangat menyakitkan jika semua itu dihadapi justru ketika mereka
telah menikah.
Setelah beberapa waktu kita membahasnya, Tia
terlihat sudah agak tenang. "Thanks Ryo, kamu mau jadi tempat sampah
Tia", katanya sambil sedikit tersenyum.
"That what friends are for",
jawab saya singkat sambil menepuk-nepuk kepalanya seperti kepada seorang
anak kecil, padahal dia 3 tahun lebih tua daripada saya, hehehe..pamali
tau...!!
Saya duduk lesehan di karpet bersandarkan pada tepi
ranjang sambil meluruskan kaki. Hhmmm..enak juga duduk posisi kayak
gini. Tidak berapa lama kemudian Tia menyusul turun dari kursi dan
bergabung duduk dengan posisi lesehan di sampingku. Kayaknya enak banget
lihat gaya kamu, katanya sebelum dia menyusulku duduk di karpet. "Ryo,
kamu itu aneh yah ?", tiba-tiba suara Tia menyentakku.
"Aneh
selanjutnya bagaimana maksud loe?", tanya saya asal sambil menirukan
sebuah dialog sinetron Si Doel beberapa waktu yang lalu. Hihihihi....
terdengar Tia cekikikan mendengarnya.
"Ya aneh aja, Tia baru kenal
kamu hari ini, tapi rasanya Tia udah kenal sama kamu lama banget",
katanya lagi, "Sampai Tia mau curhat
sama kamu, padahal Tia paling jarang curhat, apalagi sama orang yang baru kenal".
"Sama, Aku juga gitu kok Ya, jangan-jangan kita pernah ketemu di kehidupan sebelumnya yah ?", jawab saya sambil nyengir.
"Ada-ada
aja kamu....", katanya sambil tiba-tiba merebahkan kepalanya di bahu
kananku. Jujur aja saya cukup terkejut menerima perlakuannya, but santai
aja, lagipula apalah yang mungkin terjadi dari sebuah bahu untuk
menyandarkan kepala sejenak ?
Cukup lama kita masing-masing
terdiam dalam posisi ini sambil memandang sebagian horizon langit yang
dipenuhi kerlap-kerlip bintang dari jendela kamarnya. Sayup-sayup
terdengar dari TV rintihan Sinnead O'Connor yang tengah menyanyikan lagu
legendarisnya :
...I can eat my dinner in the fancy restaurant
but nothing, I said nothing can take away this blue cos nothing
compares, nothing compares to you.....
Perlahan saya usap
rambutnya dan memberanikan diri untuk mengecup keningnya. Tia
mendongakkan kepalanya untuk memandangku. Beberapa saat kita saling
berpandangan, ah oase kedamaian dari pancaran matanya inikah yang selama
ini saya cari ? Mungkinkah saya menemukannya hanya dalam beberapa jam
saja setelah sekian lama saya mencarinya entah kemana ? How can I be so
sure about that ? dan sekian banyak pertanyaan lainnya berkecamuk dalam
pikiranku melewati detik demi detik kami berpandangan. Yang saya tahu
beberapa saat kemudian wajah kita semakin mendekat dan sekilas saya
melihat Tia menutup matanya dan pada akhirnya saya kecup lembut
bibirnya.
Kami berciuman seakan-akan kami sepasang kekasih yang
telah lama tidak berjumpa. Menumpahkan segala kerinduan dalam kehangatan
sebuah ciuman. Perlahan saya raih pinggang Tia dan mendudukkannya dalam
pangkuan. Kini kami semakin dekat karena Tia saya rengkuh dalam
pangkuan saya. Saya usap lembut rambutnya, sedangkan dia memegang lembut
pipiku. Ciuman bibirnya semakin dalam, seakan tidak pernah dia
lepaskan.
Cukup lama kami berciuman, sesekali terdengar tarikan
nafas Tia yang terdengar begitu lembut. Akhirnya saya memberanikan diri
untuk mulai menurunkan bibir ke arah lehernya.
"Ugh...", hanya terdengar lenguhan lembut seorang Tia ketika ia mulai merasakan hangatnya bibir saya menjelajahi lehernya.
Tidak
ada perlawanan dari aksi yang saya lakukan. Tia justru makin
mendongakkan kepalanya, semakin memamerkan lehernya yang putih dan
jenjang. Kedua tanggannya meremas seprai tempat tidur sebagai tumpuan.
Saya pun semakin terhanyut terbawa suasana. Saya perlakukan Tia selembut
mungkin, menjelajahi milimeter demi milimeter lehernya, mengusap
rambutnya dan makin menekankan punggungnya ke arah tubuhku.
"Ryo...oohh.
..", lenguh Tia saat dia menyadari terlepasnya satu per satu kancing
kemejanya. Ya...saya memang melepaskannya untuk
melanjutkan cumbuan
saya kepadanya. Jilatan-jilatan lembut mulai menjalari dada Tia, seiring
meningkatnya hasrat manusiawi dalam diri
kami.
Dengan sekali
gerakan, saya dapat menggendongnya. Kami lanjutkan percumbuan dalam
posisi berdiri dengan Tia dalam gendongan. Tangannya mulai meremasi
rambutku. Perlahan-lahan kemejanya terjatuh terhempas ke karpet,
menyisakan bagian atas tubuh Tia yang tinggal berbalutkan sehelai bra
putih. Beberapa saat kami bercumbu dalam posisi ini, sampai akhirnya
saya merebahkannya di ranjang. Terdengar suara Donita, presenter MTV
Asia, terakhir kali sebelum saya meraih tombol off TV yang terletak di
buffet samping ranjang. Kali ini suasana benar-benar senyap, hanya
tarikan nafas kami berdua yang masih sibuk bercumbu. Tia mencoba untuk
melepaskan satu per satu kancing kemejaku hingga akhirnya ia berhasil
melepaskannya, hampir bersamaan saat saya berhasil melepaskan bra-nya.
Kami
meneruskan pergumulan, namun sebuah perasaan aneh menyusup ke dalam
hatiku. She's different, pikirku. Jujur saja, saya sudah beberapa kali
mengalami sexual intercouse, pun dengan orang-orang yang baru saja saya
kenal. Namun kali ini terasa berbeda. Ada perasaan lain yang mengiringi
nafsu yang bergejolak, sebegitu dahsyatnya sehingga nafsu itu sendiri
menjadi tidak berarti lagi keberadaannya. Sayang...., yah mungkin inilah
yang disebut dengan perasaan sayang itu, sesuatu yang sudah lama tidak
saya rasakan keberadaannya. Ini membuatku ingin memperlakukannya seindah
dan selembut mungkin. Tia bukan hanya seseorang yang mengisi sebuah
babak pelampiasan nafsu manusiawi dalam hidupku. Dia berbeda, she
deserves the best...!!
Terdengar lagi lenguhan Tia saat saya
mulai mengulum buah dadanya. Kali ini terdengar lebih keras dari
sebelumnya. Mungkin hasrat itu
telah memenuhi kepalanya.
Jilatan-jilatan diselingi gigitan-gigitan kecil mendarat di sekitar
putingnya, berkali-kali membuatnya berjingkat terkejut. Saya meneruskan
cumbuan saya ke arah perutnya, hingga pada akhirnya berhasil membebaskan
celana panjangnya ke karpet. Sekarang terpampang pemandangan yang tidak
mungkin saya lupakan, seorang Tia yang baru saya kenal hari ini, rebah
dengan hanya berbalutkan celana dalam. Untuk pertama kalinya saya
memandang seorang wanita dalam kondisi seperti ini tidak dengan nafsu
yang menguasai. Begitu terasa bagaimana saya memang menyayangi dan
menginginkannya. Matanya yang memandang lembut ke arahku, menghadirkan
begitu banyak kedamaian, sesuatu yang terus saya cari selama ini dari
diri seorang wanita.
Kini saya mengulum pusarnya, seiring
lenguhan-lenguhan kecil yang terdengar dari bibirnya. Perlahan saya
mulai menurunkan kain terakhir
yang menempel pada tubuh Tia.
Terdengar sedikit nada terkejut Tia saat saya mulai menurunkan centi
demi centi celana dalamnya menyusuri kedua kakinya hingga terlepas entah
kemana. Seiring itupun, saya mulai menurunkan jilatan ke arah
selangkangannya. "Ryo...mau ngapain..., uugghh...", pertanyaan yang coba
diajukan Tia tidak dapat diselesaikannya begitu dirasakannya sebuah
jilatan mendarat di organ kewanitaannya. Permainan lidahku pada liang
kewanitaannya memang saya usahakan selembut mungkin, hingga terkadang
hanya sedikit saja ujung lidahku menyentuhnya. Namun hal ini malah
justru memicu reaksi Tia semakin terbakar. "Ohhh....Ryooo. ..",
lenguhnya panjang diiringi nafasnya yang semakin tidak beraturan.
Hisapan
dan jilatan silih berganti saya lakukan dengan penuh kelembutan
padanya, hingga pada akhirnya terdengar Tia seperti mendekati puncaknya.
"Aaahhh..... .", jeritnya panjang sambil menghentakkan tubuhnya ke atas
saat puncak itu datang melandanya, menggulungnya dalam suatu sensasi
keindahan yang sangat melenakan dan menghempaskannya ke dalam jurang
kenikmatan yang begitu dalam.
Kini saya memandang wajahnya.
Matanya yang terpejam sambil menggigiti bibirnya sendiri dan tangannya
yang mencengkram seprai di tepian ranjang dengan kencang serta nafasnya
yang tidak beraturan cukup untuk mengekspresikan betapa tingginya Tia
terbuai dalam gelombang orgasme yang baru saja dilaluinya. Saya biarkan
Tia meregang dirinya dalam detik demi detik puncak kenikmatan yang baru
saja didapatnya untuk menyibukkan diri mencari sebuah benda yang
"lubricated with nonoxynol 9, for greater protection" (If you were a
great CCS fan, you should know this thing) yang selalu disisipkan di
dompetku (my friend said that only bastards always bring this thing
around. Yeah...maybe I'm the one of them).
Tia baru membuka
matanya ketika dirasakannya sebuah benda menempel lembut pada bibir
organ kewanitaannya. Dibukanya matanya memandang lembut ke arah wajahku
yang tepat berada di depan wajahnya. "Tia, may I....?", bisikku sambil
mengecup keningnya.
Tia hanya mengedipkan kedua matanya sekali sambil tetap memandangku. That's enough for me to know the answer of this question.
Perlahan-lahan
saya tekan kejantananku menerobos liang kewanitaannya. So gentle and
smooth. Terdengar nafas Tia tertahan di tenggorokannya, menikmati
sensasi mili demi mili penetrasi yang dilakukanku terhadapnya, hingga
akhirnya keseluruhannya terbenam utuh. Kami terdiam dan saling
berpandangan sejenak, menikmati bersatunya raga (dan hati) kami berdua.
Saya kecup bibirnya lembut sebelum mulai melenakannya dalam sebuah
persetubuhan yang sangat indah. Saya masih ingat persis, bagaimana kedua
tangan kami saling bergenggaman erat di sisi tepi ranjang saat kami
terus bergumul menyatukan hasrat dan raga kami. Betapa lembut buah
dadanya menekan dadaku, dan betapa hangat melingkupi kejantananku yang
terus memompanya, membawa kami semakin tinggi terbuai kenikmatan
duniawi.
Entah berapa lama keadaan ini berlangsung, ketika pada
saatnya terdengar Tia mulai mendekati orgasme keduanya. Tangannya
merangkul pundakku, mendekap tubuhku erat seakan ingin mengajakku ikut
dalam gelombang orgasmenya. Nafasnya makin memburu, terdengar jelas di
telinga kananku. Saya pun meningkatkan kecepatan penetrasi untuk
membantunya mendapatkan puncak kedua kalinya.
"Eeegghhh... .Ryooo...
...aahhh. .", jerit Tia tertahan mencoba menyebut namaku saat gelombang
orgasme keduanya benar-benar datang menggulungnya, menelannya kembali ke
dalam jurang kenikmatan yang sangat dalam.
Saya menghentikan
pergumulan kami sejenak, memberinya kesempatan untuk kembali mengatur
nafasnya seusai melewati puncaknya yang kedua. Saya hanya memberikan
senyuman dan kecupan lembut di keningnya saat pada akhirnya Tia mulai
membuka matanya.
"You're so lovely tonight", bisikku padanya.
"Ryoo...eh..
!!", teriaknya sedikit terkejut saat tiba-tiba saya menarik kedua
tangannya untuk kemudian mendudukkannya dalam pangkuanku. Punggungku
bersandar di kepala ranjang, dan wajah kami saling memandang. Kami
kembali berciuman. Perlahan kuangkat tubuhnya, untuk kembali menekankan
kejantananku pada liang kewanitaannya. Walaupun kami tengah berciuman,
masih sempat kudengar erangan lirihnya saat Tia merasakan bagaimana
kejantananku perlahan menikam tubuhnya.
Kali ini kubiarkan Tia
memegang kendali. Kubiarkan bagaimana dengan bebasnya Tia memompa
diriku. Pundakku dijadikan tumpuan olehnya untuk terus menaik-turunkan
tubuhnya di atasku. Saya hanya membantunya dengan meremas buah
pinggulnya dan sedikit menaikkan posisi selangkanganku, hingga batangku
terasa makin dalam menghujamnya.
Ahh....sungguh suatu pemandangan
yang tidak akan terlupakan bagaimana melihat dirinya terus menyatukan
raga kami ke dalam suatu persetubuhan yang sangat intim. Matanya yang
terpejam, rambut sebahunya yang sudah mulai dibasahi keringat terurai
bebas, bibirnya yang digigitnya sendiri dan tubuhnya yang
berguncang-guncang. ....Ughh. .., It's really a loveable thing to see.
Pemandangan
yang sangat melenakan ditambah dengan kehangatan yang makin erat
menghimpit kejantananku, menit demi menit mulai membuaiku ke dalam
sensasi kenikmatan sebuah persetubuhan. Terasa sesuatu mendesak,
menghimpitku untuk keluar dari dalam tubuhku. Oh My God, I think I'm
gonna cum.., pikirku.
"Ryooo....I' m almost there...", bisik Tia lirih sambil mempercepat gerakan tubuhnya memompaku.
"Yes...babe, me too...", jawabku sambil mengecup erat bibirnya.
Selanjutnya
terasa bagaimana gelombang menuju puncaknya seakan berpacu dengan
gelombang menuju puncakku. Goncangan tubuhnya makin terasa mendesak
cairan kejantananku untuk keluar, sementara tikaman batangku
semakin menghadirkan sensasi kenikmatan suatu orgasme yang hanya
tinggal sejengkal dari raihannya.
"Aaahhhh...Ryooo. ...", jeritnya lirih memanggil namaku saat ternyata
gelombang orgasme lebih dahulu menyapanya. Saya masih sempat
meneruskan tikaman kejantananku beberapa kali lagi hingga pada
akhirnya...
"Tiaaaa...., I'm cummiiinngg. ...!!", teriakku sambil mendekap erat
tubuhnya. Terasa bagaimana derasnya cairanku menyembur keluar.
Fortunately I use condom, masih sempat diriku berpikir di sela-sela
gulungan ombak ejakulasi yang menenggelamkanku dalam suatu sensasi
kenikmatan yang sangat dahsyat.
Dalam
beberapa saat ke depan kami hanya mampu berpelukkan erat, untuk
kemudian bersisian rebah di ranjang. "Thanks honey, you're so great...",
bisikku sambil mengecup lembut bibirnya.
"Ahh...Ryo.. .", lirih suaranya terdengar, seakan ingin mengatakan hal yang sama kepadaku.
Bandung, 12 Oktober 2000, 01.42 WIB
Terlihat
bagaimana lengangnya perempatan jalan Tamblong yang memotong Jalan Asia
Afrika di bawah sana. Hanya traffic light yang mengerjapkan cahaya
kuningnya yang menandakan adanya kehidupan di sana. Sesekali melintas
mobil angkutan kota yang beroperasi selama 24 jam menuju terminal Kebon
Kelapa. Kami hanya duduk menatapnya tanpa banyak berkata-kata. Kugenggam
erat Tia dalam pangkuanku, menatap kesunyian tanpa sehelai benangpun
yang melekat di tubuh kami. Terkadang kudengus lembut telinga Tia, yang
selalu saja diiringi desahan manjanya. Ah..betapa romantisnya, memandang
cahaya lampu lewat tengah malam tanpa selembar busanapun yang melekat.
Tak terasa sudah lebih dari setengah jam kita berdua tertegun memandang
jalanan sejak gelombang orgasme tersebut menelan kami berdua dan
menenggelamkan hingga ke dasarnya.
"Ryo, Tia pengen mandi rasanya", tiba-tiba suara Tia mengejutkanku.
"Ya udah sana mandi", jawabku, "Eh pintunya jangan dikunci yah, siapa tau ntar saya mau nyusul", godaku lagi.
"Huuh...maunya"
, sahut Tia manja sambil menjentikkan telunjuknya di hidungku dan
kemudian berlalu menghilang di balik pintu kamar mandi.
Selanjutnya
saya hanya terdiam, melanjutkan lamunanku sendiri. Mengingat betapa
beberapa menit yang lalu saya telah melalui sebuah
sexual intercouse
yang sangat indah. Kali ini sungguh berbeda rasanya, lembut dan
melenakan. Sungguh jauh lebih indah dibandingkan dengan pengalaman-
pengalaman terdahulu, dengan beberapa wanita yang sempat hadir dalam
malam-malamku. Entah mengapa tiba-tiba timbul keinginanku untuk selalu
berdekatan dengan Tia. Hanya beberapa menit ia tinggalkan (dan itupun
hanya untuk mandi), rasa kehilangan itu sudah hadir dalam benakku.
Tanpa
kusadar telah kulangkahkan kakiku ke arah kamar mandi untuk menyusul
Tia. Krek...terdengar pelan suara handle pintu kamar mandi yang kuputar.
Hmm...ternyata memang Tia tidak menguncinya, wah bandel juga nih anak,
pikirku. Perlahan kubuka pintu untuk kemudian mendapatkan suatu
pemandangan yang sangat memukau. Terlihat samar-samar dari belakang
bagaimana Tia tengah menikmati pancuran air dari shower yang membilas
lembut tubuhnya. Kaca penutup shower menghalangi pandanganku karena
telah tertutup uap dari air hangat yang Tia gunakan. Entah mengapa
pemandangan yang tersamar ini membangkitkan kembali gairahku. Terasa
bagaimana kejantananku mulai menunjukkan reaksinya.
Perlahan
kubuka pintu kaca shower untuk kemudian mendekap tubuh Tia dari
belakang. "Hei....!!", seru Tia terkejut sesaat menyadari ada
orang lain yang berada dalam kotak showernya.
"It's me honey...", kataku menenangkan sambil mendaratkan ciuman bertubi-tubi ke arah leher belakangnya.
"Ughh...Ryo.
..", lenguh Tia pendek. Terus kudaratkan ciuman bertubi-tubi ke
tubuhnya. Kadang di leher belakangnya, kadang di punggungnya, terkadang
pula kulumat bibirnya. Kami berciuman di tengah derasnya pancuran shower
yang membasahi tubuh kami. Ingin sekali rasanya kutikamkan kembali
kejantananku dari belakang ke dalam liang kewanitaannya, menikmati
sensasi bercinta di sebuah shower yang deras menghujani tubuh kami
dengan butiran-butiran air.
Setelah kurasa percumbuan kami cukup
untuk kembali membuatnya bergairah, perlahan kutuntun batangku ke dalam
vaginanya. Sejenak terasa lembut dan hangat tatkala kejantananku
menempel pada bibir liang kewanitaannya, sebelum kuhentakkannya
menerobos hingga ke pangkal batangku.
"Arrggghh... ...", jerit Tia tertahan ketika ia mulai merasakan dirinya sesak dipenuhi oleh desakan kejantananku.
Saya
mulai memompanya perlahan, keluar dan masuk. Tia membuka kedua kakinya
lebar sambil kedua tangannya bertumpu pada kedua keran panas-dingin pada
shower. Kami kembali bercinta, bergumul dalam desakan arus birahi yang
memenuhi kepala dan tubuh kita. Kami bersetubuh di bawah siraman
kehangatan shower yang terus menghujani tubuh kami tiada henti.
Terdengar sayup-sayup deru nafas Tia diantara derasnya suara air yang
tumpah keluar dari shower. Kulingkarkan tangan kananku di leher Tia
ketika kudaratkan tangan kiriku untuk mempermainkan puting kanannya,
sambil tentunya terus memompanya dari belakang.
Terus kutikamkan
batangku ke dalam liang vaginanya tiada henti. Menit demi menit berlalu,
mengiringi persetubuhan kami yang sangat indah. Terasa bagaimana
semakin ketatnya lubang kewanitaan Tia kian menghimpit kejantananku.
Tiba-tiba kedua tangan Tia menjangkau tangkai shower yang terpaku pada
dinding bagian atas kepalanya, mendongakkan kepalanya seraya melenguhkan
erangan yang begitu menggairahkan perasaan, "Ryooo.... aahhhhh..... ".
Ternyata
Tia kembali meraih orgasmenya yang menariknya kembali ke dalam
kenikmatan yang bergulung-gulung mendera bathinnya. Kudekap erat
tubuhnya, menjaganya dari kelimbungan yang mungkin dapat saja
menghempaskannya ke lantai marmer yang kami injak. Beberapa saat tetap
kudekap erat tubuhnya, sampai pada saat akhirnya Tia mulai dapat
menggerakkan dirinya sendiri. Kami sejenak bertatapan, perlahan kucium
lembut bibirnya. "You're wonderful, Babe", pujiku saat dia mulai membuka
matanya dan memandang ke arahku.
Tia membalikkan tubuhnya
dan memelukku erat. Kucium kembali bibir Tia sambil kuangkat tubuhnya
meninggalkan kotak shower tempat kami memadu nafsu. Kurebahkan tubuhnya
di lantai marmer kamar mandi dengan perlahan. Kembali kuletakkan
kejantananku di bibir kewanitaannya seraya perlahan mendorongnya masuk
ke dalam. Sejenak kulihat Tia mengigit bibirnya sendiri, seakan tengah
menikmati sensasi penetrasi batangku ke dalam liang vaginanya. Kembali
kupompakan kejantananku ke dalam tubuh Tia, membiarkan tungkainya
bersandar di pundakku untuk kemudian membuat kami terbang meraih
kenikmatan duniawi dengan lembut dan perlahan. Terus kusetubuhi tubuh
Tia yang tergolek di lantai, mencoba mengimbangi gerakan pinggulnya yang
makin menjepit batangku.
"Tia, Ryo mau keluar...", bisikku lirih
saat mulai kurasakan sesuatu mendesak keluar dari batang kejantananku,
setelah beberapa waktu
berlalu.
"Yes Ryo, cum to my breast", sahut Tia sambil mengecup perlahan bibirku sejenak.
Terus
kupompakan batang kejantananku untuk mencapai puncak ejakulasiku yang
kedua dalam hari ini. Saya mencoba untuk menahannya selama mungkin,
namun usahaku tidaklah banyak membawa hasil karena tidak berapa lama
kemudian kupastikan bahwa benteng pertahananku tidak akan bertahan lama
lagi. Sempat kuhujamkan beberapa kali lagi kemaluanku dalam liang
vaginanya sebelum berteriak keras seraya menarik keluar batangku dan
memuntahkan isinya, membajiri seluruh permukaan dada Tia.
"Ahh...I'm cummiiiinggg. ..", teriakku parau.
"Yes....ehhhmmm.
..", erang Tia tidak dapat menyelesaikan kalimatnya, karena
dirasakannya cairan kejantananku ternyata juga mendarat di wajah dan
rambutnya.Cukup lama kuregang diriku dalam orgasme yang sangat dahsyat,
dimana Tia ikut membantunya dengan mengurut-urut batang kemaluanku,
menghabisi cairan yang mungkin masih tersisa di dalamnya. Kucium
bibirnya dalam sambil mengucapkan terima kasih atas klimaks yang baru
saja saya dapatkan, sebelum akhirnya merebahkan diriku di sampingnya.
Bandung, 12 Oktober 2000, 04.48 WIB
Saya
tersadar dari tidur dengan mendadak. Di sampingku tergolek tubuh Tia
yang tidur memunggungiku sambil kupeluk dari belakang. Sejenak kucoba
mengingat-ingat apa yang baru saja saya alami. Samar-samar saya mulai
mengingat bagaimana sekitar satu setengah jam yang lalu kulalui sebuah
klimaks yang dahsyat dalam dekapan Tia di lantai kamar mandi. Yah
kuingat bagaimana kemudian kami saling membersihkan diri,
mengeringkannya untuk kemudian menikmati tidur dalam posisi saling
berpelukan.
Terasa dinginnya udara AC kamar menjalari tubuhku
yang tidak ditutupi selembar kainpun saat kusingkapkan selimut untuk
kemudian mencari pakaianku yang berserakan di lantai kamar yang ditutupi
karpet bernuansa maroon. Kukecup lembut kening Tia saat telah lengkap
saya berpakaian. Terdengar lirih suara Tia saat dia mulai tersadar
sedikit demi sedikit dari tidurnya. Kukecup bibirnya saat dia
benar-benar telah membuka matanya, memandangku dengan suatu tatapan yang
sangat sulit ditebak artinya. Tatapan sayangkah itu...?
Jam
mobilku menunjukkan pukul 05.21 WIB ketika dengan santai kukendarai mini
jeep-ku membelah jalan Asia Afrika yang masih lengang sambil
mendengarkan musik yang mulai dimainkan radio-radio swasta yang mulai
mengudara. Saya memang harus segera pergi dari sisi Tia, setidaknya
untuk hari ini, karena dia akan kembali ke Jakarta dengan rombongannya
setelah breakfast nanti. Pasti suatu pemandangan yang tidak lucu jika
teman-teman yang menyusul ke kamarnya, menemukan kami sedang tidur
berpelukkan tanpa busana sama sekali.
But no business talks
allowed, masih terngiang di telingaku perkataan Tia saat kuajak dirinya
melewatkan malamnya menikmati suasana Bandung semalam. Yah...semoga
memang begitu keadaan selanjutnya. Terus terang saya paling tidak mau
mencampurkan urusan pekerjaan dengan pribadi. Jika saya ditolak untuk
pekerjaan, biarkanlah itu karena memang saya tidak cukup qualified untuk
diterima, bukan karena saya telah berani "kurang ajar" kepada salah
seorang pengujinya (itu pun kalau dia anggap bahwa saya kurang ajar,
hehehehe.... ). Di lain pihak jika saya diterima bekerja, biarlah itu
karena memang skill dan capability saya memang dibutuhkan oleh
perusahaan, bukan karena saya berhasil menjalin suatu hubungan khusus
dengan seorang Tia. Meminjam istilah mbak Sari, mendaki corporate lewat
ranjang, hahahaha.... .
Dalam hati saya masih sedikit terbersit harapan untuk tetap melanjutkan hubungan ini. Masih terasa bagaimana Tia mengecup lembut
bibirku
saat dia melepasku di pintu kamarnya. As I said before, everything
seems so right when we're together. Is she the Miss. Right for me after
I've been looking for all over places ? Why do I feel that she's the
one, eventhough I have known her only by day. Biarlah waktu yang
menjawabnya, karena orang bijak berkata hanya waktulah yang dapat secara
pasti menentukan apa yang akan kita jalani di masa depan, sepasti sinar
matahari yang selalu menyapa penduduk bumi setiap pagi.
Seperti saat ini, dimana sinar matahari yang pertama jatuh menemani perjalananku menembus lengangnya jalanan kota ini..
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment